Rabu, 19 Oktober 2011

Cerpen

Di Atas Ranjang Rumah Sakit

Senin pagi, Rian baru saja terbangun dari kasur Rian yang nyaman. Dia terbangun karena telepon genggam Rian bendering keras.

“Aaaaaah!”. Gumam Rian dalam hati.

Dia lihat di layar telepon genggamnya bertuliskan “BEE” panggilan sayang Rian kepada pacarnya yang menelepon. Tanpa berpikir lama, Rian langsung menjawab panggilannya.

“Halo? Ada apa, sayang?”. Tanya Rian dengan suara mengantuk.

“Pulang sekolah nanti anterin aku ke toko buku ya!”. Jawab dia semangat.

“Ia deh. Tunggu aja di depan kelas kamu. Nanti aku jemput”. Ucap Rian.

“Ia. Di tunggu ya. Emmmmuuuuah”. Jawab dia.

“Jangan lupa sarapan! Sekarang upacara!”. Suruh Rian.

“Ia Bawel!”. Jawabnya sambil menyeringai.

Tubuh Rian dibalut selimut kembali. Namun, tak sampai lima belas menit, alarm berbunyi. Segera Rian meninggalkan kamarnya tanpa membereskannya terlebih dahulu, lalu pergi ke kamar mandi. Setelah itu, Rian memakai baju seragam yang biasa siswa SMA di daerah Bandung ini pakai untuk upacara.

Di sekolah, Rian bertemu Septi, kekasihnya yang Rian sebut Bee itu. Lalu Rian mengajak Septi ke kantin yang tidak jauh dari kelas Rian. Rian menawarkan beberapa makanan. Namun Septi menolaknya. Rian pun tidak terlalu memperdulikannya.

Bel upacara pun berbunyi. Seluruh siwa pun berlarian ke lapang upacara untuk mengikuti acara sacral itu.

Upacara pun begitu hikmat. Tiba-tiba terdengar bunyi seseorang yang jatuh, tepatnya pingsan. Seluruh siswa yang ada di sekelilingnya berteriak keras.

“PMR! PMR! PMR!”. Teriak keras para siswa kepada PMR yang ada di barisan paling belakang para siswa.

Namun yang datang bukanlah para PMR. Melainkan Pak Bono, seorang guru kesiswaan yang juga mengajar matematika di kelas sembilan. Pak Bono pun mengangkat tubuh siswa yang pingsan itu. Ketika Rian lihat, ternyaya dia Septi. Sambil berdiri, mata Rian memerah sambil mengeluarkan air mata sebesar biji jagung.

Upacara pun berakhir tertib. Rian lalu berlari kea rah ruangan kesehatan sekolah. Rian melihat Septi kejang-kejang dengan keringat di sekujur tubuhnya sambil menangis. Terdengar suara Tania, ketua PMR berteriak “Darurat”. Lalu Septi diangkat ke mobil salah satu guru dan membawanya ke Rumah sakit yang cukup dekat dari sekolah.

Ketika di kelas, Rian hanya memarahi dirinya sendiri.

“Aaaah! Mengapa aku tadi tidak memaksanya sarapan? Lelaki apa aku ini!”. Caci Rian dalam hati.

Rian tampak sudah tak bersemangat lagi hari itu. Pelajaran matematika yang Rian sukai pun terasa bosan pikir Rian. Rian hanya memikirkan keadaan Septi saat itu.

Bel pulang sekolah berdering sangat kencang. Rian cepat-cepat membereskan alat tulis yang ada di atas meja Rian. Dan pergi ke sekumpulan anak PMR dan menanyakan rumah sakit mana yang merawat Septi. Dengan wajah resah, Rian berlari ke Rumah sakit yang cukup dekat dengan sekolah. Rian mencari kamar, dimana disitulah tempat merawat Septi. Setelah menemukan kamar yang dicari, Rian melihat Septi dengan impus di tangan kirinya yang terbaring lemah. Rian melihat wajah sinis ibu Septi yang dari kedatangan Rian sudah menatap Rian dengan aneh. Ketika Rian menghampiri ranjang Septi dan mencoba mengusap kening Septi, ibu Septi marah.

“Hei! Siapa kamu?!”. Marah ibu Septi sembari menghempaskan tangan Rian.

“Bu, ibu pun kan sudah tau, aku ini pacarnya”. Jelas Rian.

“Pacar kok membiarkan dia jatuh sakit”. Ucap ibu Septi sinis, lalu diam sejenak.

“Pergi kamu!”. Sambungnya hingga membangunkan Septi yang tadinya terbaring pingsan.

Septi hanya menangis melihat Rian diusir oleh ibunya. Lalu Rian pergi sambil mata masih melihat Septi.

“Bu, mengapa ia diusir?”. Tanya Septi sambil menangis.

“Jangan pikirkan dia! Dia tidak menjagamu dengan baik”. Jawab ibunya marah.

“Aku sayang dia, bu”. Tegas Septi dalam hati.

Tiga jam setelah Rian pergi dari Rumah Sakit, Septi mengirim Rian SMS.

“Maafkan kelakuan ibuku tadi, Yan”. Ujarnya

“Tak apa, cepat sembuh sayang”. Balas Rian.

Esoknya, di sekolah terasa kurang tanpa kehadiran Septi. Rian masih menatap tajam papan tulis putih bertuliskan rumus-rumus matematika yang tidak Rian mengerti. Pak Bono menegur Rian yang terlihat aneh wajahnya sejak jam masuk pertama.

“Rian! Apa kamu mengerti? Kamu kok bengong? Apa yang kamu pikirkan, Yan?”. Tanya Pak Bono.

“Lagi mikirin Septi, Pak!”. Teriak Hadi di sebelah Rian.

“Oh, ternyata dia pacarmu, Yan? Pantas saja dari tadi kamu bengong”. Sindir Pak Bono.

Rian hanya tersenyum kecil. Dan tak lama, bel pulang pun berbunyi. Rian membereskan alat tulisnya seperti biasanya dan setelah itu berlari menuju gerbang. Rian bingung memilih Jalan mana yang akan dituju. Kanan, yang menuju Rumah sakit. Atau kiri, arah yang menuju rumah Rian. Rian memilih jalur kiri karena tidak mungkin Rian ke Rumah sakit. Yang ada Rian hanya bisa di marahi ibunya dan di usir seperti kemarin.

Sesampainya di rumah, Rian melihat sesosok bapak-bapak berseragam TNI. Rian bingung, ada apa seorang TNI datang ke rumah Rian? Ketika Rian lihat nama yang ada di dadanya bertuliskan “Serda Swara”.

“Hah? Ayahnya Septi?”. Gumam Rian dalam hati.

“Ayo nak. Kita ke Rumah sakit”. Ucap ayah Septi.

“Ada apa, pak?”. Tanya Rian heran.

“Sudahlah ikut saja!”. Jawab ayah Septi.

Lalu Rian melemparkan tasnya ke salah satu sofa di ruang tamu dan dengan ragu Rian menerima ajakan ayah Septi dan pergi menggunakan mobil. Sesampainya, Rian dan ayah Septi menuju ruangan yang kemarin Rian datangi. Rian melihat ibu Septi menangis. Dan Rian pun melihat mata Septi yang berkantung.

“Maafkan ibu, Rian”. Ucap ibu Septi sambil menangis.

“Tak apalah, bu. Ini memang salah Rian”. Jawab Rian lalu diam.

“Septi kenapa pak?”. Sambung Rian dengan mata bekaca-kaca sambil menengok kearah ayah Septi.

“Kemarin malam dia menangis. Dia berteriak-teriak namamu, Yan!”. Cerita ayah Septi.

Rian menghampiri tubuh Septi dan memegang kepala Septi. Rian saat itu meneteskan air mata dan mengeluarkan kalung yang berukirkan tulisan “BEE” dan memasangkannya ke leher Septi dengan hati-hati. Sambil menangis Rian memeluk Septi lalu mengecup keningnya. Dan ketika itulah orang tua Septi mempercayai aku untuk menjaga Septi hingga sembuh bahkan selamanya untuk menjadi seseorang yang akan mengisi hari-hari Septi.

Tamat

Senin, 08 Agustus 2011

How to make a vase from the mineral bottle

Cara Membuat Vas dari Botol Mineral

1. menyediakan botol aqua kemudian dipotong dua
2. aqua sudah dipotong itu, memotongnya menjadi potongan-potongan kecil dan tepi yang tajam yang dibuat
3. setelah dipotong, kemudian membuat bunga dari sedotan sebanyak yang dibutuhkan
4. selesai membuat bunga, maka bunga dimasukkan ke dalam ujung runcing dari botol terakhir dari aqua
5. kemudian membuat daun jerami dan menempatkannya di tengah-tengah botol aqua lagi
Beri peringkat terjemahan

How to Make a Vase from The Mineral Bottle

1. provide aqua bottle then cut to two
2. aqua already cut it, cut it into small pieces and sharp edges made
3. after the cut, then make flowers of straws as much as needed
4. finish creating a flower, then flowers are put into the pointy end of the last bottle of aqua
5. then make the leaves of the straw and place it in the middle of the bottle again aqua